Proses Kegiatan Agroekologi Odesa Indonesia
OLEH FAIZ MANSHUR
Ketua Odesa-Indonesia
90 tahun silam (1928), Basil M.Bensin seorang agronom Rusia menggunakan istilah агроэкологии (Agroecology) untuk menjawab persoalan pertanian.
Setiap kegiatan usaha tani memiliki kelebihan dan kekurangan. Basil punya pemikiran bahwa masalah pertanian ini harus diselesaikan dengan masing-masing cara sesuai problem yang dihadapi petani.
Istilah Agroekologi adalah cara mengatasi masalah dengan kerangka pijak dari gabungan pengetahuan agro/pertanian, eco/lingkungan dan logi/logos/ilmu.
Pendekatan teknologi belum mengemuka, apalagi solusi industri dalam hal ini.
Ilmu itu sudah 90 tahun sampai sekarang masih menarik untuk didalami, bahkan sangat asyik diterapkan karena realistis dan mudah dilakukan, terutama ketika Food Agriculture Organization (FAO) memiliki definisi baru bernama “ecology of the food system”(ekologi sistem pangan).
Bahkan ketika industri pertanian mulai mengemuka, justru Agroekologi semakin realistis diterapkan, termasuk oleh petani kecil (peasant).
Apa pasalnya? Karena untuk mengatasi persoalan subjek/petani di masing-masing tempat yang memiliki problem dengan usaha taninya dengan solusi terbaik yakni memobilisasi aset/modal lokal.
Sekalipun mesin nanti akan bisa menjadi bagian penting dari kegiatan pertanian, terutama petani kecil, namun yang terpenting pemahaman tiga elemen itu yang harus dimiliki setiap orang dan mampu melakukan.
Kami di Yayasan Odesa Indonesia melakukan praktik agroekologi di Kecamatan Ciemenyan Kabupaten Bandung tersebut.
Mulanya bergerak bukan karena pengetahuan agroekologi, melainkan karena prinsip menyelesaikan masalah dari internal keluarga petani (sekup lokal) guna mengatasi kemiskinan.
Nyatanya kemudian konsep agroekologi itu sejalan dengan kami, dan memang itulah yang utama harus digalakkan. Ilmu pengetahuan menjadi kekuaatan/power yang sangat penting.
Memberikan pengetahuan baru kepada petani dengan media pembelajaran aktif adalah rumus yang membuat kami optimis.
Praktik langsung mengatasi persoalan hidup mereka itu sangat memungkinkan terjadinya kesempatan melakukan perubahan.
Kami sangat optimis petani yang buta huruf atau rendah pendidikan itu bisa berubah karena jalan pendampingannya adalah praktik bersama dalam kurun waktu berkelanjutan, sudah melewati masa 2 tahun.
Dan terbukti banyak hasil dari praktik Agroekologi yang sekarang sedang kami naikkan ke arah sistemik agar usaha meraih ekosistem yang lebih terarah.
Apa yang kami lakukan?
Tanah di Cimenyan secara umum subur.
Namun pada ladang-ladang petani yang sering digarap mengalami masalah pelik.
Petani memiliki keterbatasan pengetahuan dalam bertanam karena itu mereka sangat bergantung pada musim, mengairkan air, memupuk dengan kombinasi pupuk kandang dan kimia, dan orientasinya semata-mata adalah duit.
Mereka sangat berpengalaman dalam kegagalan, dan juga sadar bahwa yang mereka lakukan itu adalah konyol.
Mereka sendiri yang mengatakan bahwa bertani adalah berjudi.
Naasnya, kebanyakan gagal ketimbang berhasil. Hanya saja situasi itu tidak bisa mereka tinggalkan karena persoalan tidak semata urusan pekerjaan.
Bahkan meninggalkan kampung halaman pun bukan solusi yang tepat karena kualitas skill pekerjaan mereka hanya akan pada level kuli manakala pindah ke tempat lain.
Akhirnya mereka istiqomah, tetap dan permanen dengan kemiskinan dan keterbelakangan mereka.
Pertahap kita lakukan pendekatan Agroekologi agar Ekosistem berjalan karena keberlangsungan pertanian bukan semata urusan jualan produksi hasil panen.
Terbukti hanya dengan panen yang ditanam tidak pernah mampu membuktikan kesejahteraan hidup para petani. Ada sekian masalah pada urusan panen.
Kadang hasil panen bagus harga anjlog. Harga meninggi panen buruk.
Menghadapi masalah seperti ini kita harus berpikir lebih detail sekaligus mengantongi visi makro (Pilar Peradaban adalah Pangan, Ternak, Literasi dan Teknologi)Pangan Ternak Literasi Teknologi
Pertama, pertanian adalah produksi. Elemen produksi yang harus diselesaikan adalah problem kesuburan tanah.
Pupuk kimia dan pemahaman pupuk lokal harus digeser karena itu membuat petani belanja, dan itu memperberat kegiatan produksi mereka.
Jangan sampai usaha penyuburan tanah hanya berlaku sekali tanam, sementara petani punya kebutuhan terus menerus untuk kebutuhan ini. Harus diciptakan langkah strategis mengatasi kesuburan tanah.
Sumberdaya lokal harus ditemukan, didata dan kemudian digunakan.
Di Cimenyan kami menemukan model yaitu memanfaatkan tanam daun bambu. Banyak sekali tanah gembur yang subur di bawah pohon bambu yang selama ini dimubazirkan petani.
Kebanyakan petani hanya bisa menjalankan praktik penyubuaran tanah dari dua unsur untuk menyuburkan tanaman, yaitu pupuk kandang dan pupuk kimia serta mengandalkan air hutan atau menyiram.
Itu problem besar. Karena itu usaha mengumpulkan tanah di bawah pohon bambu menjadi kebutuhan agar kesuburan lebih permanen.
Usaha ini, tercatat sampai bulan Juli 2018 baru kita lakukan untuk menyuburkan media tanam polybag dan lahan ladang belum sampai ½ hektar.
Namun formula ini akan terus berlanjut sejalan dengan perluasan ladang garapan dan kemampuan kita menghimpun tanah-daun-bambu.
Tanah dari daun bambu memang subur tapi belum cukup untuk mengatasi persoalan devisit air.
Ada pengetahuan lain yang penting dipraktikkan dengan — lagi-lagi memobilisasi sumberdaya lokal yang mubazir, yaitu pemanfatan sabut kelapa.
Banyak sekali sabut kelapa terbuang dari penjual degan/kelapa muda. Padahal itu adalah media tanam yang sangat menolong karena sabut kelapa memiliki kemampuan menyimpan air hingga 60 persen.
Dan yang terpenting lagi, kandungan unsur hara sabut kelapa sangat bagus karena unsur Kalium, Phospor dan Nitrogen.
Kita punya problem karena sabut kelapa harus dilembutkan dengan penghancuran. Memakai tangan manusia jelas tidak efisien.
Namun masalah ini hanya dalam hitungan hari selesai karena dari kegiatan grup pertanian itu kami mendapatkan info ada mesin pencacah yang bertahun-tahun mangkrak tiada guna.
Di Cimenyan memang banyak mesin pertanian hasil sumbangan Anggota DPR atau sumbangan pemerintah, tapi mayoritas mubazir karena sumbangan asal-asalan, tidak ada pendampingan dalam pemanfaatan.
Duit negara dihambur-hamburkan dan kami melihat hal tersebut harus dimanfaatkan untuk para petani.
Akhirnya mesin digunakan untuk pencacah kelapa dan satu mesin bisa sangat produktif sejalan dengan usaha transportasi kolektif dengan mobil khusus yang rutin bisa mengangkut sabut kelapa dari pedagang yang sebelumnya dibuang atau dibakar karena dianggap sebagai sampah.
Agroekologi bukan semata urusan penyuburan tanah, namun harus dimulai dari situ.
Usaha penyuburan tanah secara organik perlahan-lahan dilakukan tanpa harus ekstrem melawan model pertanian kimia.
Pertanian kimia berlangsung melalui proses panjang, pemulihannya pun harus dengan proses bertahap.
Dakwah dalam usaha perbaikan pertanian –terlebih untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan–yang terbaik juga harus moderat dan bertahap untuk tidak saling menjatuhkan.
Pengetahuan yang baik harus diterapkan dengan cara yang baik, yaitu mengamalkan ilmu secara bertahap kepada petani dengan target menciptakan kesadaran tentang ekosistem, bukan semata pinter.
Bukan pemaksaaan melalui program tertentu model top-down, apalagi mengajari usaha tani melalui proyek dengan skala modal industri hanya untuk mengejar gengsi disebut petani organik.
Maka di luar kita mengatasi masalah kesuburan tanaman, kita pun bicara soal sisi lain, yaitu pentingnya keanekaragaman hayati.
Secara mudah kita jelaskan, bahwa keanekaragaman hayati itu adalah beragam jenis tanaman terutama tanaman pangan, tanaman obat dan tanaman penghijauan harus dilakukan oleh setiap petani.
Tak disangka, dengan gerakan tanaman obat kita juga mendulang berkah, bahwa ternyata pada jenis-jenis tanaman obat seperti kelor, daun afrika, bunga matahari, batang sorgum, dll sangat berguna juga untuk penyubur tanaman.
Misalnya daun afrika berguna untuk memicu pertumbuhan tanaman dengan menjadikannya kompos.
Sedangkan daun kelor lebih hebat lagi bisa untuk pupuk daun. Belum lagi kalau dicampur kencing kelinci.
Masalah hama selesai.
Pekarangan harus menjadi modal dasar gerakan kecil untuk pembibitan, dan ladang adalah sarana tempur kita meraih kemenangan.
Kemenangan dalam pertanian tidak boleh melukai yang lain, yaitu tanah, udara dan hutan.
Kemenangan kita adalah menaklukkan hawa nafsu pragmatis bertani semata butuh duit sementara duit juga untuk memenuhi kebutuhan makan.
Lalu kita geser pemahaman bahwa dengan keanekaragaman hayati itulah justru kita bisa menghemat pengeluaran duit karena kita mengurangi belanja.
Masalah timbul di sini yaitu ketersediaan bibit. Kita pun selalu rutin mengagendakan pembibitan.
Belanja bibit atau benih harus dilakukan karena kita harus mendapatkan bibit yang baik, namun belanja terus menerus itu perilaku yang tidak benar.
Yang dilakukan adalah belanja di awal lalu dikembangkan.
Kita mendesain laboratorium tradisional dengan pemuliaan bibit, dan akhirnya banyak sekali dari Yayasan Odesa Indonesia ini menyumbang bibit untuk petani miskin.
Sebagian bibit kita jual untuk menopang permodalan dan kegiatan, sebagian lagi kita sebarkan kepada petani.
Tanah sudah subur secara permanan, bibit sudah banyak berkembang.
Dua unsur ini sudah menjadi modal kuat untuk proses lebih lanjut.
Kita perkuat lanjut dan menyebarkan gagasan melalui praktik ini secara massif karena pada model ekologi sistem pangan itu akan membuahkan hasil yang luar biasa baik, yaitu munculnya keseimbangan antara kelayakan ekonomi, perbaikan lingkungan, dan keadilan sosial.[]
Komentar ditutup.