Pertanian Pekarangan di Jerman

Oleh: IRAWATI PRILLIA. Ibu rumah tangga merangkap pekerja laboratorium. Tinggal di sebuah desa bernama Stockheim, kota Düren, di barat Jerman. Kumpulan catatannya bisa dibaca di https://www.keluargapelancong.net/

Saat masih sama-sama berstatus mahasiswa, dan berjalan-jalan ke daerah pedesaan, saya dan suami memimpikan punya sebuah rumah di desa. Rumah-rumah pedesaan di Jerman memiliki halaman lumayan luas. Halaman depan dan belakang. Halaman depan  biasanya penuh bunga beraneka rupa dan warna. Sungguh memanjakan mata.

Tradisi menanam di pekarangan bukan merupakan hal baru di Jerman, dan bagian Eropa lainnya. Sebelum revolusi industri berlangsung di Eropa, sebelum urbanisasi dan lebih banyak orang tinggal di desa-desa dibandingkan di kota, sebelum perdagangan dunia marak, sebelum supermarket-supermarket yang rak-raknya dipenuhi aneka komoditi buah dan sayur yang hampir tidak mengenal musim, orang-orang memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya dengan bertani. Orang kebanyakan bertani skala kecil, di pekarangan rumah. Bahkan, di awal abad 20, di negeri yang sekarang lebih dikenal dengan industrinya ini, dua pertiga penduduknya masih hidup dari sektor pertanian.

Di masa itu, jumlah orang dalam keluarga relatif besar. Beberapa generasi tinggal di satu  atap pun lumrah saja. Mereka bekerja sama menggarap tanah milik keluarga. Menanam segala macam sayur mayur, buah-buahan, tanaman mengandung karbohidrat, kentang utamanya. Juga berbagai tanaman palawija untuk memenuhi sebagian kebutuhan protein nabati. Kebutuhan akan protein hewani mereka cukupi dengan memelihara hewan-hewan seperti ayam, mentok, atau bebek.

Kegiatan bertani skala kecil seperti ini harus mereka lakukan dengan cermat. Sebab di negeri 4 musim, kegiatan bertani serta berkebun tidak bisa berlangsung sepanjang tahun. Orang tidak bisa bertanam di pekarangan saat musim dingin. Hasil kebun harus bisa memenuhi kebutuhan mereka akan makanan hingga datang masa panen yang akan datang. Jika panen gagal, kelaparan adalah risikonya.

Meski zaman sudah berubah drastis, aneka-ragam sumbar pangan tersedia dengan relatif mudah dan murah, tak serta merta, kebiasaan berkebun orang-orang Jerman hilang begitu saja. Walau kebanyakan dari mereka lebih suka menanam aneka macam bunga, masih banyak kebun-kebun sayur mayur dan buah bisa kita lihat di kebun-kebun mereka. Terutama di rumah-rumah pedesaan. Di musim semi, ketika musim tanam dimulai, kita akan bisa menyaksikan banyak orang berbondong-bondong memenuhi toko-toko khusus tanaman. Membeli aneka macam bibit, benih, alat-alat pertanian, dekorasi taman, dsb.

***

 

Kami sendiri, ketika mimpi kami untuk punya rumah dan pekarangan sendiri terwujud di tahun 2011, tak serta merta kami ketularan suka berkebun seperti pemilik rumah-rumah cantik yang pernah kami kagumi tersebut. Halaman depan kami tanami bunga seadanya. Ada satu bunga mawar serta dua pohon Cemara peninggalan pemilik sebelumnya. Mawarnya rajin berbunga setiap tahun. Pohon Cemara nyaris tak perlu dirawat. Disiram pun tidak. Satu dua tahun pertama, tak ada penambahan tanaman berarti.

Demikian pula dengan kebun belakang yang sebenarnya relatif luas. Hampir 400 meter persegi. Mulanya hanya berhamparkan rerumputan serta tanaman warisan pemilik sebelumnya. Yang tidak banyak jumlahnya. Ada satu pohon bunga Magnolia rimbun tepat di belakang ruang tamu. Bunganya yang berwarna merah muda menjadi aksesoris halaman nan elok selama beberapa minggu musim semi. Dua pohon bunga, kami tak tahu namanya. Paling belakang, tumbuh sederet  pohon kacang Hazelnut, semak-semak Blackberry liar, segerombolan Rhubarb, serta satu jenis buah Beri berduri yang sangat asam rasanya. Semuanya kami biarkan tumbuh semaunya.

Tahun-tahun setelahnya, kami mulai sedikit menggarap pekarangan belakang. Dimulai dengan membuka lahan tanam seluas 1×3 meter persegi. Menanam tanaman yang mudah tumbuh di negeri empat musim, seperti daun bawang, peterseli, ketumbar. Daun bawang dan ketumbar bertahan lama. Walau mati setiap musim dingin, mereka tumbuh kembali di musim semi berikutnya lewat biji yang tersebar di sekitar tanaman lama. Di satu deret mepet sebuah tembok, kami tanam Stroberi.

Hingga beberapa tahun kemudian, lahan tanam kami hanya bertambah satu bedeng lagi. Sampai satu episode, dimana banyak bagian Eropa, tak terkecuali Jerman ditimpa kekeringan parah di musim panas tahun 2018. Sebuah bencana kekeringan akibat anomali cuaca di tahun itu. Dengan curah hujan jauh di bawah rata-rata, suhu di atas rata-rata dalam jangka waktu panjang, dan sinar matahari yang bersinar jauh lebih lama dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tanaman kami mati kekeringan. Halaman berumput, gundul rumputnya. Kering dan mati. Disiram dengan air keran pun tidak banyak menolong. Dampak kekeringan terasa saat berbelanja kebutuhan pokok. Di tahun itu, meski stok komoditi hasil pertanian di supermarket aman, harganya melonjak tajam. Banyak petani Eropa gagal panen.

Tak lama kemudian, saya menyaksikan sebuah film dokumentasi dari BBC, menyiarkan tentang bencana kekeringan Eropa tahun itu. Dalam siaran diperlihatkan foto-foto satelit, bagaimana kondisi bentang alam akibat kekeringan. Lahan-lahan pertanian monokultur kering kerontang. Yang masih lumayan bertahan, terlihat hijau, adalah wilayah-wilayah hutan.

Siaran tersebut semakin menyadarkan saya, bahwa kami harus bersiap sedia menghadapi krisis semacam ini. Apalagi diramalkan, dikarenakan perubahan iklim, maka cuaca ekstrem seperti kekeringan, bakal sering terjadi di permukaan bumi. Kita harus bersiap berteman bencana alam. Di mana saja kita berada. Saya kemudian bertekad untuk menanam lebih banyak pohon di lahan kosong di rumah, sekaligus memperbanyak lahan untuk menanam tanaman yang bisa kami konsumsi.

Musim semi tahun berikutnya, banyak perubahan terjadi di pekarangan. Baik depan mau pun belakang. Lahan tanam kami semakin luas. Kami membuat bedeng-bedeng tanaman baru. Agar lebih mudah dan praktis, kami tidak menggali tanah. Bedeng tanamnya berupa raised bed. Lahan yang mau ditanami kami batasi dengan kayu bekas palet.

Rumputnya tidak perlu dicabut. Kami tutup saja dengan lembaran karton bekas. Di atas karton bekas, kami masukkan campuran ranting-ranting kering, batang pohon yang tidak terlalu besar, kompos, dan tanah. Rumput di bawah karton, bakal mati dengan sendirinya setelah beberapa lama. Bahan-bahan organik di atasnya akan terurai, bercampur tanah, menjadi unsur hara bagi tanaman yang kami tanam. Lahan tanam seperti ini siap pakai hanya dalam waktu beberapa jam saja.

Di bedeng-bedeng tersebut kami menanam berbagai jenis tanaman yang ingin kami konsumsi. Kentang, jagung, wortel, tanaman bumbu, buncis, daun salad, kemangi, kangkung, cabe, sawi, serta bermacam bunga. Selain bedeng, kami punya menanam di pot-pot.

Tak semuanya selalu berhasil sesuai harapan. Kami memang merawat mereka tidak terlalu maksimal. Kami mengandalkan pemupukan dengan kompos buatan sendiri. Setahun sekali kami tambahkan bubuk mineral ke tanah. Sebagian tanaman tidak tumbuh, atau tumbuh lambat dan kerdil, sebagian tumbuh lalu digerogoti hama. Semuanya menjadi pelajaran berkebun baru bagi saya. Semua yang tumbuh subur, membuat hati bahagia, bersyukur.

Kami juga ingin memiki semacam food forest kecil di pekarangan belakang. Sehingga kami membeli bibit beberapa jenis pohon buah endemik. Yang paling mudah tumbuh di daerah ini adalah Apel, Pear, Anggur, beberapa jenis buah Beri. Hanya dalam waktu setahun, pohon-pohon buah yang kami tanam mulai menghasilkan buah-buahan.

Kompos kami buat dengan menggunakan peralatan sederhana. Kami memiliki dua wadah pengomposan. Satu terbuka, dan satu tertutup. Sisa buangan dapur kami simpan dalam wadah kompos tertutup. Sedangkan sampah hijau berasal dari potongan rumput atau daun-daun serta potongan dahan pohon kami simpan di wadah terbuka. Sesekali kompos tersebut kami sebari starter mikroorganisme berbentuk pellet kering. Jika cuaca sedang panas, kompos disiram dengan air agar mikroorganisme di dalamnya bisa tetap hidup.

Untuk pengairannya, kami banyak mengandalkan air hujan. Air hujan itu kami tampung dalam tandon-tandon air berbagai ukuran. Kapasitas tandon kami saat ini, kira-kira bisa menampung sebanyak 3.000 liter air. Jika tandon sedang kosong, kami menyiram tanaman dengan air keran.

Kami mulai menanam sayur-mayur serta bunga di awal musim semi. Biasanya antara bulan akhir Maret hingga Mei. Bayam, kangkung, selada, sawi, tomat, cabe, bunga Matahari, mentimun, labu, kentang, dll, mulai disebar benihnya. Akhir Mei, hingga puncak musim panas di bulan Juli – Agustus, memasuki masa panen. Tanaman perennial seperti Apel, Pear, Hazelnut mulai panen akhir Agustus sampai masuk musim gugur di bulan Oktober. Selain bisa dinikmati sendiri, sebagian hasilnya kami bagi-bagikan kepada handai taulan.

Musim tanam hingga panen berlangsung dari musim semi hingga akhir musim gugur. Biasanya antara akhir Maret sampai Oktober. Tanaman berumur pendek akan mulai mati ketika suhu udara mencapai titik beku. Pohon buah dan kacang-kacangan meranggas, menggugurkan dedaunan. Kami akan libur bertanam selama musim dingin. Menunggu dengan sabar musim semi, musim tanam berikutnya.[]

Pertanian Taoci Bandung

Strategi Menggerakkan Tani Pekarangan

Ragam Benih Agroforestry untuk Perbaikan Gizi

1 komentar untuk “Pertanian Pekarangan di Jerman”

  1. Pingback: Meladang di Kota, Sebuah Pengalaman Community Gardening di Jerman - ODESA INDONESIA

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja