Meladang di Kota, Sebuah Pengalaman Community Gardening di Jerman

Oleh: IRAWATI PRILLIA. Ibu rumah tangga merangkap pekerja laboratorium. Tinggal di sebuah desa bernama Stockheim, kota Düren, di barat Jerman. Kumpulan catatannya bisa dibaca di https://www.keluargapelancong.net/

Sebuah gerakan hijau yang dimulai di New York hampir setengah abad lalu, mulai berkembang di Jerman beberapa dasawarsa ini: warga kota bergabung dalam sebuah komunitas memanfaatkan lahan kosong untuk menanam sayuran dan buah-buahan.

Lebih banyak penduduk kota merindukan suasana pedesaan nan hijau. Mengolah tanah, menghasilkan makanannya sendiri. Meski tetap tinggal di perkotaan, mereka ingin menjajal pengalaman baru, melakukan aktivitas di luar rumah, bersahabat dengan segala macam cuaca, berdekatan dengan alam dan lingkungan.

Kebun di salahsatu Perkotaan Jerman (Foto Irawati Prillia)
Kebun di salahsatu Perkotaan Jerman (Foto Irawati Prillia)

Gemeinschaftsgarten atau Community Garden atau kebun komunitas biasanya menempati area hijau kepunyaan pribadi atau pun fasilitas umum milik pemerintah, mau pun swasta.  Banyak di antaranya memanfaatkan lahan-lahan kosong yang tidak dimanfaatkan pemiliknya atau pun lokasi-lokasi lain yang tak terbayangkan sebelumnya bakal menjadi sebuah kebun: Di sudut-sudut taman kota, di atas lahan-lahan sempit di tepi jalan raya, tanah kosong di antara gedung-gedung apartemen atau perkantoran, tanah kosong yang sudah lama menganggur di perkampungan, atau bahkan di atap sebuah areal parkir.

Inisiatornya, bisa perorangan atau sebuah grup-grup bermuatan politik, sekolah, warga yang tinggal berdekatan, hingga jemaah gereja. Mereka akan mengajukan proposal untuk memanfaatkan lahan yang sedang tidak dipergunakan tersebut. Inisiator kemudian menjadi pengelola lahan hijau. Dibantu oleh anggota atau sukarelawan.

Pengelola bersama para sukarelawan memelihara unit kebun secara swadaya. Ada yang merawat, memanen bersama-sama dan membagi hasilnya rata kepada setiap anggota. Ada pula yang kebunnya dibagi-bagi menjadi bedeng-bedeng tanaman, dan tiap anggota mendapat jatah bedeng tanaman, bertanggung jawab menanami dan dapat memanfaatkan hasil panennya sendiri.

Kebun komunitas berbeda dengan pekarangan mini sewaan (Kleingarten). Kleingarten membutuhkan komitmen, biaya, dan usaha lebih besar. Selain sewa lahan yang biasanya jangka panjang, anggota Kleingarten diharapkan aktif ikut serta dalam kegiataan yayasan serta mematuhi berbagai aturan di dalamnya. Sedangkan uang sewa lahan kebun komunitas, jika ada, ditanggung bersama-sama semua partisipan. Demikian pula dengan biaya-biaya lain seperti biaya pemakaian listrik dan air. Tidak sedikit komunitas memanfaatkan lahan tanam tanpa perlu menyewa.

Semua pekerjaan berkebun dilakukan bergotong royong. Dari membuat perencanaan, membersihkan lahan dari sampah, menyiapkan bedeng atau media tanam, menyemai benih, memelihara tanaman, dan memanennya. Sukarelawan akan datang dan bekerja sesuai dengan waktu luang yang dimilikinya, sesuka hati. Sistem seperti ini menarik perhatian lintas generasi, lintas budaya, hingga para imigran. Mereka datang dari kalangan keluarga kecil, para mahasiswa, para pekerja muda, anak-anak, dan hingga para pensiunan.

Para petani baru dari kota ini gemar bereksperimen. Mereka tetap ingin tinggal di kota, menikmati segala fasilitasnya. Di waktu bersamaan, merindu suasana alami yang biasanya didapatkan di pedesaan. Orang-orang seperti ini, tertarik akan ide produk regional. Produk yang dihasilkan serta dikonsumsi tanpa menempuh jarah jauh dan waktu yang panjang hingga sampai konsumen. Mereka gemar mencoba hal-hal baru. Mereka ingin menyampaikan kritik terhadap sistem pertanian dan industri makanan massal. Tidak hanya terhadap masalah ekologi. Namun juga dari sisi sosial. Dan mereka ingin melakukan percobaan itu bersama-sama, dalam sebuah komunitas, tanpa berorientasi pada hasil akhir. Bagi mereka, kebun komunitas merupakan sebuah wadah untuk menangguk pengalaman baru.

Kebun di salahsatu Perkotaan Jerman (Foto Irawati Prilia)
Kebun di salahsatu Perkotaan Jerman (Foto Irawati Prillia)

Kebun-kebun hijau di perkotaan muncul dengan berbagai bentuk, mengubah penampakan sebuah kota. Dari sebuah hutan beton kelabu menjadi sebuah tempat kaya akan biodiversitas serta tanaman-tanaman pangan. Tanah-tanah kosong terbengkalai baralihfungsi menjadi penghasil oksigen, pun kebun penuh komoditi pangan: sayuran, tanaman bumbu dan obat-obatan, buah-buahan. Kadang masih ditambah dengan sarang lebah madu dan peternakan unggas kecil-kecilan. Jika sebelumnya sepulang kerja para petani kota mendatangi supermarket membeli bahan makanan, sekarang mereka bisa memetik sebagian makanan segar dengan tangan sendiri. Melalui kebersamaan dalam komunitas, tidak hanya produk makanan segar dihasilkan, namun juga aneka pengalaman dan keahlian baru, membangun kembali kebersamaan yang mulai luntur di perkotaan.

Ratusan proyek kebun komunitas telah terbentuk setelah sekitar tiga dasawarsa berkembang di puluhan kota Jerman. Mereka sedikit banyak telah mempengaruhi penampakan kota. Membentuk oase-oase hijau seluas ratusan hingga ribuan meter persegi. Bagi para sukarelawan, kebersamaan adalah hal terpenting. Setiap orang berkontribusi sesuai keahlian, kemampuan, maupun waktu yang dimilikinya. Itulah yang membuat kebun komunitas unik. Kebun-kebun tersebut didesain secara khas, kreatif, dan penuh warna.

Kebun komunitas Tempelhofer Feld di Berlin mungkin salah satu yang paling distingtif. Menempati areal bekas Bandara Berlin Tempelhof yang sejak tahun 2008 tidak disinggahi pesawat lagi. Sebagian bekas jalan raya pesawat dipakai warga semua umur dan golongan untuk bersepeda atau meluncur di atas roller skate. Sementara sebagian lahan hijau difungsikan ratusan orang sebagai lahan tanam.

Anggota komunitas di sana tidak disarankan menanam langsung di tanah, sebab tanah  bekas bandara dikhawatirkan tercemar bahan kimia berbahaya. Mereka berimprovisasi. Misalnya saja dengan membuat raised beds dari berbagai material bekas: bekas palet kayu sekali pakai, atau dipan kayu bekas. Ada pula yang memanfaatkan keranjang plastik bekas, wadah-wadah plastik tetra pack bekas, botol bekas minuman, juga karung beras bekas sebagai wadah tanah untuk menanam. Sebagai tambahan, mereka pun memanfaatkan kayu-kayu bekas sebagai tempat duduk, penyangga tanaman, dsb. Di saat cuaca bagus dan hangat tak hanya para petani kota datang kemari. Pengunjung, seniman, serta warga lokal meramaikan suasana dengan bermain musik, atau barbeku beramai-ramai.

Kebun Komunitas Gartendeck di Hamburg beda lagi. Ia berada di pusat kota, tepatnya di distrik St. Pauli. Seperti nama satu klub sepak bola kota Hamburg. Sebelum menempati lokasinya sekarang, selama 7 tahun para petani Gartendeck menanam di atas atap sebuah tempat parkir. Mereka menggunakan bekas keranjang roti besar sebagai wadah tanam, Di dalam keranjang-keranjang plastik berwarna oranye cerah tumbuh daun bawang, basil, daun salat, tomat, bahkan kentang. Keuntungannya, cara bertani ini memudahkan para anggota jika harus pindah kebun, sehingga ia disebut sebagai mobile gardening.

Kebun Internasional Göttingen dimulai oleh satu grup sosial perempuan beranggotakan pengungsi, imigran, serta warga Jerman pada pertengahan tahun 1990-an. Ketika seorang pekerja sosial menanyakan kepada para pendatang, kegiatan apa yang mereka rindukan dari kampung halaman, jawaban yang diperoleh adalah berkebun. Sang pekerja sosial menyeriusi jawaban tersebut. Membantu para wanita mencari lahan yang sesuai, mengurus birokrasi, dll.

Sebagai percobaan, 12 keluarga asal 6 negara membangun sebuah kebun bersama. Dari proyek awal dengan lahan tanam seluas 900 meter persegi, kini berkembang menjadi tiga kebun seluas total kira-kira 11 ribu meter persegi, beranggotakan 85 orang dari 25 negara dunia. Tak hanya belajar bercocok tanam, para anggota bersama-sama saling belajar Bahasa Jerman, belajar mengenal budaya anggota lainnya, berintegrasi dengan manusia dari berbagai latar belakang, bahkan menjadi terapi bagi pengungsi yang memiliki trauma di masa silam.

Kinerja Kebun Internasional Göttingen mendapatkan apresiasi berupa aneka penghargaan dari pemerintah Jerman. Di antaranya penghargaan Konsep Pendidikan Lingkungan Baru dari Kementrian Lingkungan Hidup Jerman tahun 2000, Penghargaan atas Komitmen Warga dari pemerintah negara bagian Niedersachsen tahun 2001, serta Penghargaan Integrasi dari Presiden Jerman tahun 2002.

Pemerintah Jerman ikut jua mendukung proyek-proyek kebun komunitas. Pemerintah kota pun menyadari, bahwa kota nan hijau merupakan kota layak huni. Lahan-lahan hijau mempengaruhi kualitas hidup penghuninya. Mereka diharapkan lebih sehat, lebih berbahagia, sebab penghijauan dan kegiatan berkebun terbukti mengurangi stress warga. Lewat gelontoran dana khusus, pemerintah ikut mendukung gerakan penghijauan dalam kota, membantu para inisiator kebun komunitas mendapatkan lahan yang sesuai, termasuk juga menyediakan jasa konsultasi perencanaan.

Melalui Kementrian Lingkungan, Perlindungan Alam, Pembangunan dan Keselamatan Reaktor yang bekerja sama dengan Institut Pembangunan dan Tata Ruang, pemerintah melakukan penelitian seksama terhadap kebun-kebun komunitas di kota-kota Jerman. Lalu menyusun sebuah buku pedoman bagi pemerintah kota. Pedoman ini memberikan saran dan rekomendasi, bagaimana pemerintah kota dapat memperbaiki kondisi kerangka kerja untuk melaksanakan proyek-proyek kebun komunitas di kotanya.

Ya, sebuah proyek akan memiliki dampak maksimal berkat komitmen aktor-aktor yang terlibat dan hanya melalui kerjasama yang baik dari berbagai orang dan lembaga yang memberikan kontribusi positif. []

BACAAN LAIN

Kisah Pertanian Pekarangan di Jerman

Toha, Kisah Petani Gila dari Oray Tapa 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja