Kelor Odesa Indonesia: untuk Pendidikan, Ekonomi dan Kesehatan

OLEH FAIZ MANSHUR. KETUA ODESA INDONESIA BANDUNG.

Visi kami di Yayasan Odesa Indonesia dalam mengurus “orang” desa adalah meningkatkan kesejahteraan melalui jalan organizer, membentuk karakter organik, dan bersama petani memasuki ruang modernisasi online. Misi kami bersama Moringa Oleifera (Kelor) adalah untuk 1) menyehatkan keluarga petani perdesaan membutuhkan gizi yang baik sehingga harus mengonsumsinya, 2) menciptakan lapangan kerja dengan cara inovatif yaitu tani pekarangan dan menambah jenis tanaman ladang, dan ke 3) memberikan kontribusi perluasan bibit dan hasil panen kepada masyarakat luas.

Dalam gerakan penyebarluasan Kelor ini, termaktub tiga program dasar untuk mengatasi persoalan keluarga petani kecil (peasant) yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kelor memasuki tiga dimensi problem di Kawasan Bandung Utara (KBU) dengan model-model pendampingan.

Melalui kegiatan pembibitan dan pengolahan kelor di Grup Pertanian Tanaman Obat Cimenyan (Taoci), kami bergiat memberikan pendidikan budidaya tanaman pangan dan sekaligus gerakan perbaikan lingkungan. Para petani usia lanjut mendapatkan pengetahuan tentang pentingnya gizi, praktik sehat mengolah bahan pangan, pentingnya disiplin dalam mengurus tanaman. Kepada remaja desa level sekolah menengah pertama dan atas kita memberikan pendidikan tentang gizi, manfaat kelor dan juga pentingnya kesadaran berbudiaya; kesediaan menanam, merawat dan memanen secara baik.

Pada ruang lingkup pendidikan ini, Kelor sebenarnya hanya pintu masuk gerakan perbaikan kualitas hidup masyarakat desa. Kita memberikan pendidikan bukan dengan instans model training satu dua pertemuan, melainkan kontinyu dalam waktu yang tak terbatas untuk meraih goal/sukses membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan ekonomi dan keterbelakangan.

Jalan pendampingan yang panjang itu memungkinkan para sukarelawan Yayasan Odesa-Indonesia bisa mengembangkan pendidikan budidaya pertanian lebih luas, melampaui sekadar urusan Kelor. Itulah mengapa sekalipun topik wacana berpijak pada Kelor, namun kesadaran-kesadaran tentang gizi atas tanaman lain seperti tanaman lokal yang selama ini diabaikan, semacam poh-pohan, binahong, patikan kebo, pegagan, dan lain sebagainya dibangkitkan.

Tak terkecuali juga usaha memasukkan jenis tanaman yang belum banyak dikembangkan seperti menanam bunga matahari, bambu guadua, buah tin, jeruk nipis, jeruk varigata, sorgum, kale, daun afrika, dll. Pada dimensi yang lebih luas, pendidikan pertanian secara sainstifik ini juga menyadarkan banyak petani berpendidikan rendah untuk lebih berpikir inovatif dalam hal pupuk organik dengan mengolah agar tidak ditimbun dan menimbulkan penyakit. Dengan gerakan model semacam itu, artinya juga memperbaiki kesehatan rumah tangga yang puluhan tahun terbiasa hidup berdampingan dengan ternak seperti sapi atau domba. Pada dimensi pendidikan, anak-anak keluarga petani ini juga secara otomatis mendapatkan karakter yang lebih maju, melalui kegiatan kursus Bahasa Inggris, kursus sains, penggalian bakat menyanyi berkesenian dan lain sebagainya.

Kelor adalah sesuatu yang menarik karena nilai gizi dan kemudahan budidaya. Hambatan utama pada masa perintisan awal adalah pandangan masyarakat Cimenyan yang menilai Kelor secara mistis dan sebagai tanaman yang tak berharga. Tetapi pada praktiknya hambatan itu tidak memandegkan gerakan. Sebab pada kenyataannya bukan hanya Kelor yang tidak menjadi minat petani. Jenis-jenis tanaman lain yang sifatnya baru juga tidak menarik kalangan petani karena petani hanya mau menanam tanaman yang “telah teruji” laku jual di lingkungan mereka. Pikiran mereka adalah bagaimana mendapatkan uang, dan itu artinya setiap urusan tanaman mereka berpikir segera mendapat uang. Sekalipun demikian bukan berarti petani melimpah keuangannya.

Dengan perilaku pertanian tanpa ilmu pengetahuan, sayuran yang menurut mereka cepat menghasilkan uang toh tidak menolong kehidupan mereka. Kemelaratan di Kawasan Bandung Utara bisa dilihat di setiap perkampungan. Hasil panen tiada bisa dihitung secara rasional. Apalagi pada beberapa pekan terakhir ini misalnya, terdapat kasus bencana pertanian. Banyak bibit-bibit sayuran yang sedang mekar hancur karena hujan es mengguyur Cimenyan dan bahkan kali-kali dari perbukitan Cimenyan itu mengalirkan lumpur ke kawasan Perkotaan Bandung.




Justru dengan bukti Kelor mampu memperbaiki kesehatan, pada akhirnya banyak warga perdesaan yang meminta daun Kelor saat mereka sakit. Setidaknya sudah ada 30 kisah tentang kemampuan Kelor menyehatkan para petani setelah Odesa Indonesia mendorong para petani mengonsumsi Kelor. Encok, Pegal linu, diabetes, stroke, masuk angin, kanker payudara adalah beberapa jenis penyakit yang dilaporkan warga telah sembuh karena konsumsi Kelor, tak terkecuali peran Daun Afrika yang juga kita kembangkan.

Kelor mesti berkembang karena tiga alasan besar tersebut. Berat di awal tahun pertama 2016, tapi tertolong oleh pengetahuan pada tahun 2017 sehingga inisiatif pembibitan bisa berjalan. Akhir Desember 2017 lalu kami bisa mensuplay bibit kelor mencapai 6.000 pohon. 2.000 pohon ditanam di Cimenyan tanpa ladang khusus, melainkan menyebar di pekarangan dan pinggir-pinggir ladang. Hasil laporan kurang menyenangkan. Karena terdapat 40% gagal. Hampir semuanya akibat kurang serius perawatan. Kemudian hingga April 2018 bibit kelor mencapai 13.000. Ladang mulai dibuka, dan pada bulan April mulai berkembang 4.000 pohon. Sebagian bibit Kelor juga menjadi solusi bagi mitra Odesa Indonesia di Bogor, Majalengka, Kota Bandung, Cianjur, Tangerang, Tasikmalaya, Purwakarta, Ciamis, Garut, Bekasi dan lain sebagainya.

Target kami, tahun 2019 mendatang bibit Kelor bisa mencapai 30.000 pohon di Cimenyan dan Cilengkrang Kabupaten Bandung, syukur-syukur bisa mencapai lebih 100.000 pohon. Ini penting agar Kelor tidak sekadar menjadi pesona elok, menjadi bahan wacana orang kota dan bergaya-gaya makanan organik tetapi rakyat desa justru tetap miskin dan tidak mengembangkan budidaya Kelor karena tidak memiliki pengetahuan dari manfaatnya. Hambatan sekarang tinggal pada soal biaya. Pengembangan sebelumnya tercatat menghabiskan biaya 32 juta (catatan akhir Pebruari 2018). Dana 22 juta didapat dari pengurus internal Odesa Indonesia, dan 10 juta berkat kepedulian seseorang di Jakarta yang tertarik mendorong para petani kecil mengembangkan bibit Kelor.

Setiap budidaya tanaman pangan harus diletakkan secara ideologis karena peradaban selalu bergantung pada kekuatan empat pilarnya, yakni budidaya pangan, ternak, literasi dan teknologi. Yayasan Odesa Indonesia bermain dalam konteks pemberadaban masyarakat melalui pangan, dan Kelor merupakan sumber pangan yang patut dikembangkan, berderap bersama pengembangan ternak, gerakan literasi/pendidikan petani, dan pemanfaatan teknologi yang tepat dan berguna untuk menunjang tiga elemen dasar (budidaya pangan, ternak, literasi) tersebut.



Komitmen Odesa Indonesia dalam gerakan ini lebih fokus pada usaha pembibitan dan penyebarluasan tanaman pangan agar petani semakin kuat dalam hal produksi. Segala bentuk kekacauan politik kita tak lepas dari lemahnya produksi pangan. Kita memperkuatnya budidaya tanaman pangan agar “surga” sebagai cermin peradaban itu “mewujud nyata” di dunia dengan melimpahnya bahan pangan yang melimpah; buah-buahan segar yang menyehatkan, biji-bijian yang bisa diakses kecukupan memenuhi kebutuhan rumah tangga, ternak yang sehat dan mendukung pertanian serta gizi keluarga, serta generasi cerdas yang kuat dalam literasi dan mahir memanfaatkan teknologi untuk memberi kemanfaatan lebih luas bagi negara ini.

Visi penguatan budidaya dan mengonsumsi di masyarakat ini sangat mendasar dan lebih penting ketimbang sekadar usaha ekspor. Buat apa kita mengekspor Kelor kalau problem masyarakat Indonesia sendiri dilanda kekurangan gizi, bahkan masih sering terdengar berita gizi buruk. []

BACA Manfaat Gizi Kelor
BACA Bibit Kelor Bandung

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja