Indonesia, Potensi Desa dan Peran Kampus

Budhiana Kartawijaya. Ketua Pembina Yayasan Odesa Indonesia. Wartawan Senior Pikiran Rakyat.

Indonesia ini adalah untaian nikmat Tuhan yang luar biasa. Sumber daya hayati maupun keindahan bentang alamnya unik. Hal ini yang menyebabkan turis datang ke negeri kita ini. Keunikan itu ada di desa-desa. Desa-desa kita punya keunikan dalam tiga hal: keunikan hayati, keunikan budaya, dan keunikan bentang alam.

Keunikan hayati itu terlihat dari keragaman tumbuhan dan hewan. Bersama Brazil, Indonesia adalah negeri dengan megadiversity terbesar di dunia. Ini menjadikan desa-desa kita sebagai adalah lumbung pangan, lumbung air, dan lain-lain. Desa kita masih menyimpan rahasia farmasi. Mungkin penawar AIDS/HIV itu masih tersembunyi di dalam rimba-rimba kita.



Keunikan alam jangan ditanya lagi. Bentang alam pegunungan, pantai, danau, sungai, lembah, gunung dan keunikan bawah laut sangat ajaib. Anak-anak milenium menjuluki alam kita: stunning and instagrammable. Tidak usah mahal-mahal, mentari terbit dan tenggelam pun sudah bisa dimonetisasi.

Keunikan budaya terlihat dari cara hidup suku-suku bangsa Indonesia. Ada desa batik, ada desa seni, desa dodol, desa meubel. Sebut saja: apa pun ada. Jadi ada desa yang unik alamnya, unik keragaman hayatinya, unik budayanya. Dan ada desa yang unik karena memiliki ketiganya.

Kolam Susu
Pokoknya kata Koes Plus, Indonesia itu surga. Negeri kolam susu, di mana tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Ikan dan udang menghampiri kita. Kekayaan keunikan inilah yang seharusnya menjadi basis ekonomi rakyat (resource based). Mengutip pernyataan ekonom peraih Nobel Robert N. Solow yang mengatakan bahwa kota layak huni (livable city) adalah kota yang mempertahankan keunikan.

Kalau kita tarik padangan Solow ini, maka desa layak huni pun adalah desa yang mampu mempertahankan keunikannya. Keunikanlah yang seharusnya menyebabkan orang datang ke desa. Traveling atau wisata adalah proses inversi hidup: orang kampung ingin ke kota, orang kota ingin ke kampung; orang gunung ingin ke pantai, orang pantai ingin ke gunung; orang tropis ingin ke sub tropis, orang subtropis ingin ke tropis.

Akan tetapi keunikan-keunikan ini mulai tergerus karena strategi industrialisasi yang keliru yaitu: 1), industri yang tidak resource based: 2) industri yang menghabiskan resource itu sendiri.

Industri yang tidak resource based terlihat misalnya dari berdirinya pabrik-pabrik yang tidak terkait dengan sumber daya lokal. Di lumbung pangan berdiri pabrik tekstil; di daerah yang seharusnya bermodel bisnis wisata berdiri pabrik pencemar lingkungan.

Di Majalaya misalnya, berdiri pabrik-pabrik tekstil modern yang basisnya buruh murah. Padahal dulu kampung saya ini adalah basis tenun tradisional, dan rajanya ikan mas. Sebetulnya jika kehidupan tenun tradisional ini dijadikan model bisnis, maka Majalaya itu akan menjadi kampung museum wisata tekstil tradisional terbesar. Orang-orang modern akan diajak mendengarkan indahnya kelotrak mesin-mesin lama. Mereka kemudian membeli kain-kain yang hand-made. Terus, mereka makan ikan mas dan sate kambing, sebelum jalan-jalan ke kawah Kamojang.

Di Malang ada kafe sawah Pujon Kidul. Pemandangannya bagus, hamparan sawah dengan latar belakang gunung dimonetisasi dengan smart. Dibuatkanlah spot-spot foto yang stunning dan instagrammable, colouring space-nya menarik generasi milenium untuk datang dan berfoto: here I am in Kafe Sawah!.

Resourcenya sawah, tapi revenue streamnya bukan dari jual padi, melainkan dari jual keunikan landscape. Hamparan sawah yang stunning dan colourful berlatarbelakang gunung itu mengundang orang datang: mencicipi kuliner dan berfoto. Penduduk lokal memasarkan produk lokal sebagai bagian dari keunikan. Ini model bisnis yang resource based.

2) Industri yang menghabiskan resource adalah salah satu kekeliruan model bisnis.
Contoh misalnya kawasan Karst Padalarang. Model bisnisnya sempit: menjual marmer. Ternyata marmer indah dunia berasal dari sini: lihat citatah.co.id.

Suatu saat, gunung-gunung kapur itu akan habis dan tidak meninggalkan keunikan, selain jejak-jejak kerusakan. Penduduk desa tidak akan kebagian apa-apa selain sisa-sisa debu di paru-paru mereka.

Kawasan Citatah sebetulnya bisa dibuatkan model bisnis wisata dan edukasi. Rakyat setempat dilibatkan dalam proses produksi jasa, bukan hanya sebagai tukang.
Jadi keunikan desa seharusnya memberi manfaat bagi semua warga desa. Model bisnis yang smart, ecofriendly dan resource based sebetulnya bisa menahan atau sekurang-kurangnya mengurangi urbanisasi.

Fakta Desa
Data Kementerian Dalam Negeri, sampai per Oktober 2015 menunjukkan, Indonesia memiliki 74.053 desa dan 8.300 kelurahan. Total desa dan kelurahan menjadi 82.353.

Masalahnya adalah kebanyakan desa tidak mampu membayangkan sebuah model bisnis. Dalam bayangan mereka, model bisnis hutan adalah menebang kayu dan menjualnya. Atau mempersilakan modal kota masuk dan mereka jadi penonton: jadi keamanan, pelayanan kafe atau tukang parkir. Pusat-pusat bisnis desa akhirnya menjadi outlet penjualan produk-produk kapitalis: Coca Cola, Kopi instan, mie instan, produk-produk Unilever, Danone dan lain-lain. Tentu ada pertumbuhan ekonomi desa, tapi pertumbuhan ekonomi itu 90% masuk kantongnya pemodal dari kota.

Di sinilah sebetulnya peran penting kampus-kampus, khususnya fakultas ekonomi dan bisnis. Bisakah perguruan tinggi melakukan scholarship of engagement ala Ernest Boyer. Ada kehirauan kampus untuk dekat dan membantu memecahkan persoalan masyarakat pada tingkat komunitas lokal.

Bisakah fakultas ekonomi dan bisnis turun ke desa-desa mengamati potensi keunikan dan membangunkan model bisnis kerakyatan?. Selama ini kalau kita mendengar konsep model bisnis, maka mahasiswa terpaku pada model bisnis perusahaan. Sangat jarang mendengar model bisnis sociopreuner pedesaan.

Kampus bisa membantu mengidentifikasi potensi tiga keunikan: hayati, budaya dan alam sebgai key resource-nya. Selanjutnya kampus membantu bagaimana potensi ini diaktifkan (key acitivities), dimonetisasi dengan mencari potensi sumber-sumber pendapatan (revenue stream), mencari partner-partner strategis (strategic partners).

Memang ada konsep satu desa satu produk (one village one product – OVOP) yang diadopsi pemerintah dari praktik-praktik di Prefektur Oita Jepang. Namun kelemahannya di kita adalah pendekatannya top down dan pure entrepreuner. Padahal di Jepang sendiri konsepnya sociopreneur bahwa pertumbuhan ekonomi desa itu mayoritas harus masuk kantong warga, bukan kapitalis. Pada saatnya partnership dengan swasta akan tersusun dengan sejajar.

Kelemahan lain dari OVOP di Indonesia adalah: tidak ada model bisnis setelah produk itu jadi. Produk melonjak, harga turun. Tidak seperti Kafe Sawah di Malang yang menerapkan smart and green economy: produknya sawah, revenue stream terbesarnya dari model bisnis landscape. Bukan dari jual padi.

Jadi nanti semboyan kita adalah : One Vilage One Business Model: Satu Desa Satu Model Bisnis, atau Satu Kecamatan Satu Model Bisnis.

Alangkah baiknya bisalnya bila kuliah kerja nyata (KKN) mahasiswa diarahkan untuk menyusun model bisnis. Di akhir KKN, mahasiswa presentasi rancangan model bisnis ini. Yang paling baik tentu rancangan model bisnis yang tingkat executability-nya tinggi dan realistik. Bila ini terjadi, maka Indonesia akan mempunyai puluhan ribu model bisnis berbasis keunikan.

Kampus akan mencoba menerapakan teori bisnisnya di desa. Sementara ribuan desa akan memberikan sumbangan teori baru bagi pengembangan ilmu ekonomi dan bisnis pedesaan.

Tanggungjawab Kampus
Bagi kampus sendiri tentu ini merupakan bentuk tanggungjawab publiknya. Perguruan tinggi bukan sekadar kelanjutan linier dari SLTA, akan tetapi laboratorium untuk melahirkan insan-insan pelopor socio-preneur.

Sudah saatnya kampus melakukan redefinition of scholarship atau redefinition of professiorate. Kualitas sarjana kita tingkatkan, bukan hanya dilihat dari IPK tapi juga kehirauan dia terhadap masyarakat. Kualitas dosen (profesor) juga kita tambahkan pada kehirauan para dosen untuk hal yang sama.

Suatu saat kita akan melihat bahwa betul-betul industri kita resource based, green, sustain dan smart. Itu industri yang benar. Tidak seperti sekarang, yang kata ekonom Dawam Raharjo: kita baru baru bisa bikin pabrik, belum bisa bikin industrialisasi.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja