Gula Sengsara dari Cikored

MEKARMANIK: Minggu (14/1/2018), dua karib saya di Odesa, Andini Putri dan Didin Suhendi blusukan di kampung Cikored, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung untuk pendataan janda dan duda lanjut usia yang akan mendapatkan santunan amal sosial.

Sebelum masuk ke perkampungan, berempat ditemani anaknya, Andini dan Didin sampai di sebuah warung di Kampung Cikored. Keduanya rehat sejenak. Mata Andini tertuju pada untaian bungkus plastik berisi gula.

“Ini namanya gula sangsara,” kata si empu warung.

Andini dan Didin kontan kaget mendengar istilah itu.

“Iya gula sangsara,” kata penjaga warung meyakinkan.

Si empu warung belanja gula ke kota. Kemudian gula itu dikemas dalam ukuran-ukuran kecil, cukup untuk memaniskan segelas atau dua gelas kopi atau teh manis. Harganya Rp 500 (lima ratus rupiah).

Sesuai informasi pemilik warung, nyaris tak ada warga yang bisa membeli gula dalam ukuran seperempat, setengah atau satu kilogram. Tentu masalah utamanya bukan soal petani harus mengonsumsi gula sebanyak mungkin. Bukan itu masalahnya. Istilah “Gula Sengsara” dalam konteks masalah yang sedang kita persoalkan di sini adalah soal kemampuan daya beli yang lemah. Beli gula itu kalau mulut sedang sepet, sehingga perlu minum kopi atau teh manis. Tapi mungkin juga lebih mementingkan membeli rokok.




Tapi merasa diri sebagai orang sengsara, para warga pun menyebutnya gula sengsara. Jadi ingat, ada kerupuk namanya kerupuk melarat, yaitu kerupuk yang digangsang (sanggray, Sunda) pakai pasir, karena penduduk tak mampu beli minyak goreng.

Warung ini juga menjual beras dalam kemasan dua kilogram. Warga membeli beras dua atau tiga hari sekali, tergantung jumlah keluarga dalam rumah. Sama juga, tak ada warga yang mampu beli beras di atas 5 kg. Andini menemukan jawaban konsumsi warga sekitar cikored berdasarkan pusat sumber informasi, yaitu warung. Dari situ juga banyak informasi ternyata kebanyak keluarga buruh tani dan buruh gali batu templek itu kemampuan belanjanya sekadar untuk beberapa hari.

Kasus orang lumpuh

Andini dan Didin pun menemukan kasus seseorang yang kena hipertensi selama enam tahun dan sekarang lumpuh. Selama enam tahun itu, si sakit baru sekali ke dokter.
Dia punya Kartu Indonesia Sehat (KIS). Kartu itu tak dimanfaatkan. “Mau ngangkutnya pakai apa? Kami cuma punya motor.”

Soal kesehatan warga ini terkait medical cost dan societal cost. Biaya medis (medical cost) bisa ditutup oleh asuransi negara (KIS), tapi societal cost seperti biaya transportasi, biaya makan penunggu pasien, biaya transport penunggu pasien, serta biaya uang dapur keluarga yang ditinggal si penunggu juga tidak murah. Apalagi kalau si penunggu pasien itu pekerja upah harian. Dia menunggu keluarga di rumah sakit, tapi keluarga yang ditinggal, tak bisa makan.

Andini dan Didin juga menceritakan tentang keadaan rumah-rumah buruh tani dan buruh gali batu di lereng perbukitan yang keadaannya sangat memprihatinkan. Ada banyak rumah yang statusnya tidak layak huni, atau lebih tepat disebut gubuk. Kalaupun ada rumah bangunan permanen, nyatanya sarana Sanitasinya sangat buruk, termasuk keadaan Dapurnya.

“Kami prihatin. Melalui Odesa Indonesia nanti kita usahakan solusi, sekalipun dengan tahapan seperti amal sosial, kemudian dilanjut dengan kegiatan pemberdayaan ekonomi,” ata Didin.

Dan sedihnya…. ini Bandung lho. Lokasinya dari Jalan Raya A.H Nasution hanya sekitar 5 km, masuk wilayah Kabupaten Bandung.

Terima kasih bu Andini Putri dan kang Didin atas temuannya. Kita awali Senin pagi ini dengan doa semoga saudara-saudara kita berubah nasibnya ke arah yang baik. (Budhiana Kartawijaya. Ketua Pembina Odesa Indonesia)

BACA Catatan Medical Cost vs Societal Cost dari Cimenyan



Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja