Di Puncak Bintang, Ada Cara Meraih Laba Pertanian

Pertanian Tumpang-Sari di lahan terbatas benar-benar menghasilkan laba. Menggapa tidak banyak orang mengembangkannya?

PUNCAK BINTANG. Melewati beberapa tiga warung dari pintu gerbang Kawasan Wisata Puncak Bintang, kita akan melihat satu kebun kecil yang rimbun oleh tanaman. Ada tomat, cabe dan seledri. Bersebelahan dengan kebun mini itu, terdapat deretan tanaman yang dikembangkan pada plastik polybag.




Kebun kecil itu milik Dadang, atau yang akrab dianggil Abah Dadang (58 tahun). Ia dikenal sebagai terlibat aktif pada urusan Kawasan Wisata Puncak Bintang, Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Dadang juga mengurus warung tempat berjualan makanan bagi para wisatawan. Kepada Odesa.id ia menjelaskan perihal tanaman tumpang sarinya secara detail.

“Saya ini petani sejak lama. Tanah masih punya cukup luas, tapi tidak semua bisa dikelola,” katanya kepada Odesa.id, Jumat, 31 Maret 2017.

Dari pembicaraan yang cukup detail, tersimpulkan bahwa problem pertanian bukan semata luas lahan. Orang yang tidak punya lahan sama sekali akan kesulitan menghasilkan uang karena bekerja dibatasi oleh jumlah job yang didapat. Sedangkan orang seperti Dadang yang memiliki lahan mencapai dua hektar, pada kenyataannya juga tak mampu mengelola secara maksimal.

“Anak-anak saya ada yang kerja di Jakarta, ada yang jadi PNS, yang di sini pun memilih berjualan membuka warung. Tenaga dan modal terbatas. Saya lebih tertarik mengurus kebun terbatas, cukup 300 meter bisa menghasilkan secara rutin. Jarak dekat, mudah dikelola,” kata Dadang.






Menghitung laba

Dadang lalu menjelaskan secara detail item-item tanaman, dari modal hingga panen, serta marketnya. Ditanami 1.000 tomat, 1.000 seledri, 1.000 cabe rawit. Perhitungan modal Rp 6.000.000. Menghasilkan panen tomat 2.000 Kg. Harga tomat Rp 3000 = Rp 6.000.000. Seledri 200 Kg = Rp 800.000. Cabe rawit 200 kg = Rp 6.000.000. Tomat panen hanya sekali selama 4 bulan. Seledri 3 bulan. Cabe 4 bulan sudah mulai panen dan berkelanjutan.

Sedangkan di luar area 300 meter tersebut Dadang juga mengembangkan tanaman bawang daun dengan sistem polybag. Setiap tanaman dengan Polybag, pupuk, tanah dan sekam, membutuhkan modal Rp 5.200. Masa panen bawang daun bisa dua bulan dengan menghasilkan minimal 1,5kg. Harga jual bawang daun anggap normalnya adalah Rp 6.000. “Tapi seringkali melejit sampai Rp 20.000,” ungkap Dadang.

Menurut Dadang sebenarnya dengan cabe saja sudah balik modal dalam masa empat bulan. Perhitungan di atas pun ia hitung dnegan harga paling minimal.

“Sayuran itu harganya tidak karuan. Kita pakai hitungan yang minimal saja supaya tidak menimbulkan salah hitung. Tadi jumlah tanaman yang kita hitung hanya 1.000, sebenarnya di kebun itu jumlahnya 1.100,” terangnya.



Dari perhitungan tersebut Dadang ingin menunjukkan bahwa dengan pengetahuan tertentu, lahan terbatas bisa menghasilkan. “Ini pertanian pakai ilmu. Dengan ilmu hasil lebih baik dan orang tidak melulu tergantung pada lahan luas untuk kelancaran penghasilan,” jelasnya.

Apalagi berada di kawasan Wisata yang bisa menjadi sarana penjualan sampingan karena tidak perlu ongkos transport mengangkut, dan rata-rata pembelinya membeli dengan harga normal. Tapi sekalipun tidak dijual di area wisata, konsep Tumpang Sari ala Dadang tersebut sudah aman dari kerugian. Selagi petani yang mengelola, Dadang menilai tidak akan beresiko karena petani tahu model perawatan. Kelebihan bercocok tanam Tumpang Sari seperti itu akan efektif karena bisa dipantau tanpa harus berjalan jauh ke kebun yang sering menyita biaya transportasi.

“Panen bisa kapan saja, dan setiap tanaman juga tidak panen sekali, apalagi cabe, berbuah berulang-ulang sampai lewat setahun,” paparnya.

Mengapa mereka tidak minat Tumpang Sari

Belajar budidaya dengan target rasional seperti Dadang ini sebenarnya tidak sulit. Mengapa tidak banyak petani yang mengembangkan?

Tiga petani Buntis yang ditanya Odesa.id punya tiga jawaban yang berbeda. Petani pertama menjawab, saya tidak punya lahan sedikit pun. Lihat rumah saya, berdempatan dengan tetangga. Saya hanya bisa menanam dengan Polybag untuk beberapa puluh tanaman. Petani kedua menjawab, saya tidak punya modal sama sekali karena hanya buruh tani di lahan orang. Pernah pemiliknya saya ajak bicara soal model Tumpang Sari, tapi sampai sekarang tidak mau memodali. Saya menggarap lahan hanya sewa, dan tidak punya modal lebih. Petani ketiga menjawab, malas, saya lebih baik bekerja ngojek atau jualan saat wisatawan ramai.

Hasil pengamatan Odesa.id di kampung-kampung sekitar kawasan wisata tersebut sebagian rumah tangga tidak punya pekarangan. Kalau pun ada sebagian untuk parkir mobil. Sebagian rumah tangga buruh tani lahan sangat sempit. Belum lagi untuk modal tanam. Sementara sebagian petani yang memiliki lahan lebih memilih langsung menggarap lahan tanpa konsep tumpang sari.

“Perlu edukasi pada setiap petani dan pendampingan rutin,” kata Basuki Suhardiman, Peneliti Comlabs ITB yang aktif mendampingi kaum tani di kawasan Cimenyan Bandung. -Faiz Manshur/test.odesa.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja