Belasan Keluarga di Cikawari Tinggal di Gubuk Reyot

Mereka berumah di gubuk reyot. Tempat Mandi, Cuci, dan Kakus bersanding dengan kandang ternak. Di kampung yang lokasinya hanya 10 Kilometer dari Kota Bandung itu, belasan keluarga buruh-tani hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.

BANDUNG. Siang, Kamis 9 Pebruari 2017, Enton Supriyatna menemui temannya Edi Sujang di Kampung Cikawari, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Sudah beberapa kali Enton singgah di rumah Edi dan beberapakali mendapatkan informasi tentang problem kehidupan warga desa di Cikawari.

Tetapi pertemuan dengan Edi hari itu agak lain. Ia mendapat kabar pasangan suami istri (Aep Sapari (47 tahun) dan Nani Rahmawati (28 tahun) dengan tiga anaknya tinggal di gubuk reyot di tempat pembuangan sampah,- 1 kilometer dari Kampung Cikawari. Edi mengisahkan kalau keluarga Aep itu tidak punya tempat tinggal. Sebelumnya mereka berdua hidup berpindah-pindah dari Bandung ke Karawang dan Cirebon. Belakangan keluarga itu balik ke Cikawari. Sayangnya, istrinya yang berasal dari Cikawari itu sudah tidak punya rumah karena hasil warisan keluarganya sudah dijual. Sedangkan Aep Sapari yang berasal dari kota Bandung kondisinya setali tiga uang.




Hari itu juga Enton mendatangi lokasi tempat pembuangan sampah di sebelah utara SD Mekarjaya Mekarmanik. Ia melihat-lihat langsung keadaan penghuninya. Sehari kemudian ia menyampaikan temuannya kepada teman-temannya di Organisasi Odesa-Indonesia https://odesa.id . Singkat cerita, Jumat, 24 Pebruari 2017, Enton dan kawan-kawannya berhasil mendapatkan biaya kontrak, sebuah rumah di Cikawari yang bisa ditempati oleh keluarga Aep Sapari.

“Lega urusan. Itu anak-anak harus diselamatkan dari wabah penyakit dari pembuangan sampah. Soal urusan pekerjaan dan rumah permanen buat kami urusan belakangan,” katanya.

Perasaan lega Enton bukan hanya pada keberhasilannya mengevakuasi keluarga Aep Sapari. Beberapa hari sebelumnya ia juga mengusahakan agar dua rumah reyot di Cikawari akan direnovasi oleh seorang Profesor dari Universitas Padjajaran Bandung. Di Cikawari itu, Enton bermaksud membantu perbaikan rumah milik Abah Oyim (74 tahun) dan Keluarga Pak Ena (64 tahun).

Abah Oyim tinggal di rumah sempit yang atapnya sudah rusak. Sementara Rumah Pak Ena yang berukuran 5 x7 meter juga tak kalah mengenaskan, terlebih disampingnya terdapat satu anaknya yang menempati bilik kecil sambungan dari rumah yang hanya berukuran 3x 4 meter. Enton lega karena seniornya dari Unpad itu akan menindaklanjuti perbaikan dalam beberapa bulan mendatang.

Tak diduga, setelah urusan dengan pemilik rumah kontrakan Aep Sapari itu, Enton yang saat itu bersama temannya, Mudris Amin harus menerima kenyataan yang lebih getir. Dari belakang rumah yang baru saja ia bayari kontrakannya itu ia menyaksikan deretan rumah penduduk yang tak lazim.

“Tadinya saya kira itu kandang ternak karena atapnya jelek. Banyak gubuk kayu menghitam menyangga genteng-genteng tua. Plastik-plastik hitam mengerubungi bagian samping gubuk-gubuk itu,” kata Mudris Amin. Spontan Mudris mengajak Enton untuk menyusuri deretan rumah kecil melalui jalanan sempit becek itu.

Dari blusukan itulah kemudian terkuak kehidupan yang tak manusiawi. Ada Mak Cicih (73) tahun yang hidup di rumah panggung berukuran 4 x6 meter. Lantai kayunya memang cukup kuat karena terbuat dari kayu tua yang kokoh, tetapi pagar dan atapnya banyak yang berlubang.






Kemudian ada rumah pasangan Ika (56 tahun) dan Euis Kokom (30 tahun) dengan dua anaknya yang menempati bangunan kayu 4 x4 meter. Rumah ini tersambung dengan rumah orang tuanya yang lebih besar tapi lapuk dimakan usia. Bangunan tinggalnya hanya tambahan kamar. Kondisi dalamnya sempit untuk hunian empat orang.

Lalu ada rumah keluarga Alo (33 tahun) beristrikan Ai Cucu (28 tahun) dengan dua anaknya menempati rumah berdinding pagar bambu berukuran 6 x 4 meter. Kemudian ada rumah Tata (30 tahun) suami dari Heni Susilawati (28 tahun) dengan dua anaknya yang menempati rumah berdinding triplek berukuran 5,5 x 3,5 meter.

Di sebelah timurnya ada rumah Kakek Akim (75 tahun) dengan istrinya Icih Sukaesih (64 tahun) yang menempati rumah 6 x 4 meter. Berjarak 20 meter kemudian ada juga keluarga bu Yuyu (64) yang menempati rumah 5 x 6 berpapan triplek. Bahkan ada seorang nenek bernama Anis (72 tahun) yang menempati bilik sambungan rumah dengan ukuran 2 x 2 meter. Dua rumah lain ditempati pasangan suami istri dalam keadaan kosong sehingga belum sempat terdata.

Tak Layak Huni
Rumah berarti tempat tinggal. Jenis rumah bisa berupa bangunan permanen dengan dinding berpintu dan memiliki ruangan. Kelayakan rumah hunian memang bukan dari sisi luas apalagi kemewahannya, melainkan pada fungsinya. Orang berumahtangga membutuhkan kelayakan secara fungsional untuk menjalankan roda kehidupan sehari-hari dengan situasi yang sehat tentunya. Sedangkan gubuk adalah tempat hunian yang buruk, tidak layak ditempati untuk aktivitas hidup sehari-hari. Fenomena gubuk hunian itulah yang lebih tepat untuk menyebut belasan tempat tinggal penduduk di Cikawari itu

Pandangan tentang Rumah Layak Huni terdapat banyak takaran; semuanya menuju pada usaha kenyamanan dan kesehatan. Namun yang paling simple dan memiliki legalitas untuk urusan kebijakan publik barangkali bisa merujuk pada kriteria dari Kementrian Sosial Republik Indonesia. Dari Kementrian Sosial tersebut terdapat lima kriteria Rumah Tidak Layak Huni: 1) Tidak permanen dan/atau rusak; 2) Dinding dan atap dibuat dari bahan yang mudah rusak/lapuk: 3) Dinding dan atap sudah rusak sehingga membahayakan, mengganggu keselamatan penghuninya; 4) Lantai tanah/semen dalam kondisi rusak; 5) Diutamakan rumah tidak memiliki fasilitas kamar mandi, cuci dan kakus.

Terlebih jika melihat keadaan sarana Mandi, Cuci dan Kakus Warga yang jorok. Banyak MCK dengan bahan plastik hitam atau kain bekas. Saluran air yang tidak permanen mengakibatkan air menggenang di sekitar rumah. Bau kotoran ternak di samping rumah menambah ketidaknyamanan orang.

Budhiana Kartawijaya, wartawan senior yang juga aktivis Odesa-Indonesia berpendapat, banyak keluarga pra-sejahtera di Cimenyan yang hidup jauh dari kondisi beradab. Banyak warga yang tinggal dalam rumah yang tidak layak huni.




“Fakta di Cimenyan sangat jauh dari keadaban. Negara dan agamawan tidak pernah mau menjawab problem-problem mendasar seperti ini. Kita berharap jurnalisme citizenship dari media massa mainstream dan juga muncul gerakan jurnalisme aktivis untuk lebih aktif menyuarakan masalah-masalah yang terjadi di akar rumput. Dengan begitu, seandainya negara tidak mengambil tanggungjawab, golongan swasta bisa mengambil peran, ” terangnya. -[Faiz Manshur]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja