Bedug, Dulag dan Ngadulag

Oleh: Budhiana Kartawijaya. Wartawan Senior Pikiran Rakyat.

PERJALAN membelah kampung, membawa saya ke sebuah masjid di Tareptep, Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Sebuah kampung yang letaknya berada di antara Kampung Waas (Bawah bukit Oray tapa) dan Cikawari.

Masjid ini setiap rabu ba’ad asar ramai oleh acara ibu-ibu bersolawat. Warganya semua menganut aliran Nahdlatul Ulama sekalipun di Mekarmanik tidak ada organisasi NU. Semua hal keagamaan hanya akan percaya kalau itu sumbernya dari NU. Hebatnya NU. Tanpa kehadiran organisasinya pun meme (memetic) ajarannya sampai ke akar rumput di kalangan petani desa yang tak pernah kenal sekalipun dengan pengurus NU.

Bedug, atau dulag (Sunda) biasanya hidup berdampingan dengan kentongan atau kohkol (Sunda). Saya tidak tahu sejarah empiriknya dulag dan kohkol, mengkin teman-teman ahli sejarah, antropolog, arkeolog, atau etnomusikolog bisa membantu menjelaskan.

Hanya saja dalam sumber-sumber tidak resmi menyebutkan, bedug dibawa oleh Laksamana Chengho, dan kemudian menjadi alat penanda waktu masuknya solat.

Tapi saya agak kurang percaya, karena zaman dulu sebelum Islam ada ditemukan alat-alat seperti bedug, misalnya nekara dan bongo. Namun tubuh keduanya dari tembaga. Sedangkan badan dulag dibikin dari batang pohon yang dilubangi. Bisa jati, atau enau. Kemudian membrannya dari kulit sapi, kerbau atau domba.

Sebagai negara yang kaya dengan sumber alam, rasanya tidak mungkin suku bangsa di Nusantara tak mampu bikin bedug. Sebab alam menyediakan bahan. Manusia merakitnya menjadi sesuatu, termasuk alat seni.

Nah yang saya temukan, batang bedug di masjid ini terbuat dari drum minyak. Suaranya ada unsur “cempréng”-nya. (duh..apa atuh bahasa Indonesianya “cempréng”).

Waktu kecil saya pernah tinggal di kampung Sangkan, di Majalaya. Dulag dan kohkol menjadi penanda waktu solat, karena waktu itu belum ada listrik, sehingga belum ada toa. Cara menabuh bedug berbeda pada saat solat lima waktu dengan solat Jumat. Dan waktu itu batang dulag dibuat dari kayu sehingga suaranya mantap, tidak cempréng. Membrannya dari kulit sapi, kerbau atau kambing.

Yang paling seru dan menyenangkan adalah ketika memasuki Ramadan. Ada adu ngadulag antar masjid. Saling adu keindahan irama. Suara dentuman bas dulag (superbass drum) dan hentakan kohkol meramaikan suasana kampung. Plus dentuman meriam karbit antar kampung bersahut-sahutan. Malam takbiran, suara bedug bertalu-talu semalam penuh hingga adzan subuh.

Memang juru dulag itu kreatif dan jenius menciptakan ritme pukulan. Tapi sebetulnya bukan seniman yang menciptakan keindahan. Tuhan itu Yang Maha Indah. Pada setiap bahan yang Dia ciptakan di hutan dan di manapun, Dia sembunyikan nada-nada. Dan seniman dengan budinya menemukan nada-nada itu dan merangkaikannya dengan indah: ada angklung, eboni dan gading (ivory) yang kemudian jadi piano (sekarang gading tak lagi digunakan), ada udara dan bambu yang kemudian jadi seruling, karinding dan lain-lain.

Penyair menemukan keindahan di balik alam.
Name it…kita akan temukan nada-nada itu di setiap bahan. Karena pada intinya, alam raya ini adalah lautan nada. Sila baca teori “String” Fisika modern.

Jadi, kehancuran alam, kerusakan hutan berarti juga kehancuran seni dan budaya. Kayu hilang, seni pun hilang. Seni hilang kemanusiaan hilang. Manusia pun beringas. Amit-amit.

Mari hutankan lagi bekas hutan itu, niscaya desa akan meriah lagi dengan seni dan budayanya. Jutaan kuang-kunang akan datang lagi. Dan seluruh alam akan menari-nari lagi. Otomatis.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja