Tanah Menganggur

Tanah Menganggur, Kurang Ilmu dan Kompeni

Banyak tanah menganggur di kawasan perdesaan Kecamatan Cimenyan. Puluhan ribu hektar tanah yang subur itu kebanyakan berisi alang-alang dan rumput liar. Sebagian lagi ditanami petani dengan jarak tanam yang renggang dan tidak produktif menghasilkan nilai ekonomi.

Apa penyebabnya?



Rekap pengumpulan data yang dilakukan oleh Odesa-Indonesia (Sabtu, 3 Desember 2016) misalnya, menunjukkan beberapa latar belakang terjadinya tanah menganggur. 1) Tanah milik petani menganggur akibat ketidakmampuan petani berusia lanjut menggarap lahan yang dimiliki (20%). 2) Tanah milik orang kota yang tidak diurus secara serius (50%), 3) tanah milik petani (lereng dengan kemiringan curam) yang tidak memiliki pengetahuan dan modal bibit yang cocok untuk menghasilkan nilai ekonomi (10%) dan tanah bermasalah karena akibat konflik sehingga tidak ada yang bisa mengurus (10%) dan selebihnya belum diketahui penyebabnya (10%).

Data-data tersebut dikumpulkan setelah Odesa-Indonesia melakukan kegiatan interaktif dengan masyarakat meliputi pendampingan ekonomi, pembibitan pertanian kopi dan tanaman obat, ternak dan lain-lain. Prakiraan pemetaan dari 76.000 Ha. Data temuan tanah menganggur ini bukan merangkum dari keseluruhan fakta tanah menganggur di Kecamatan Cimenyan, melainkan sebatas fakta lapangan yang ditemukan oleh Relawan Odesa-Indonesia.

Atas dasar pemetaan ini, Odesa-Indonesia menemukan puluhan tanah menganggur yang bisa mudah dihijaukan dan dikembangkan sebagai gerakan ekonomi warga pada fakta-fakta 1) dan 3) dan fakta 2). Terutama dari fakta pertama dan ketiga, kebanyakan pemilik atau pengelola sangat senang dengan tawaran Odesa-Indonesia dengan program penanaman Kopi, Tegakan tinggi dan tanaman obat.



Fakta ini menunjukkan beberapa hal.

1) Kebanyakan petani tidak mengenal bibit-bibit yang cocok untuk mengatasi tanah menganggur. Pengetahuan bercocok tanam secara turun temurun dan tidak ada pengembangan bibit-bibit yang berguna mengisi kekosongan tanaman pokok membuat tanah tidak produktif. Sebagian memiliki pengetahuan namun tidak punya kemampuan mengeksekusi dengan pembibitan sendiri atau pembelian bibit.

2) Disebabkan tidak progresifnya bantuan bibit beragam jenis dari pemerintah yang bisa digunakan oleh para petani pada beberapa jenis lahan. Bibit-bibit pertanian yang turun ke kalangan petani bersifat intruksional sehingga sering tidak singkron antara kebutuhan tanah dengan bibitnya. Pemerintahan Kabupaten Bandung tidak pernah melakukan pendidikan pertanian secara massal kepada petani. Pendidikan pertanian biasanya sebatas untuk ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang jangkarnya ke kalangan petani hanya sebatas urusan menerima bibit atau bantuan alat-alat tertentu dan tidak jelas waktunya.

3) Kurangnya pengetahuan dari kalangan intelektual kampus atau pelaku agribisnis perkotaan yang membawa pengetahuan baru untuk petani. Banyak orang kota termasuk dosen-dosen yang memiliki tanah di Cimenyan tetapi hanya sebatas untuk urusan investasi, perburuan uang dan tidak pernah membawa obor pencerahan bagi kaum tani. Kepemilikan tanah yang dikuasi orang kota sebesar 50 persen dengan tiada progress dalam pengelolaan menunjukkan bahwa peran orang kota tidak memberikan kontribusi bagi perbaikan sumberdaya manusia. Ini realitas pahit yang harus diterima petani. Jika kita ingat zaman kolonial, para kompeni justru masih memperhatikan soal pertanian dengan minimal terus memasok jenis tanaman baru dari luar untuk perbaikan produksi pertanian. Sedangkan sejak zaman Orde Baru hingga sekarang, kita tidak melihat hal itu dilakukan secara maksimal baik dari pemerintah maupun dari kalangan swasta. Kalaupun ada hanya sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan luas area yang butuh diperbaiki. -Faiz Manshur


Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja