Perbaikan Gizi, Perbaikan Manusia Indonesia

OLEH FAIZ MANSHUR. KETUA YAYASAN ODESA INDONESIA
Apa yang Anda lakukan jika ingin memperbaiki keadaan manusia Indonesia?
Jawabannya bisa macam-macam. Pegiat sosial akan meletakkan skala prioritas pada urusan ekonomi. Pegiat pendidikan akan menjawab pendidikan. Pegiat agama akan menjawab agama harus diutamakan.




Di Organisasi Kami, Yayasan Odesa Indonesia yang bergiat di Kawasan Bandung Utara (KBU) pada mulanya juga menaruh perhatian pada urusan ekonomi. Setiapkali mendiskusikan problem masyarakat hampir semua terkonsentrasi pada urusan ekonomi. Bahkan pada awal bergiat, pertengahan tahun 2016 lalu, ada gagasan permodalan ekonomi untuk ibu rumah tangga dan petani binaan.

Namun sejalan dengan pemahaman yang lebih mendalam dalam usaha mengurai sengakrut persoalan masyarakat yang meliputi masalah sosial, etika dan kultur, kita pun menaruh semua aspek sebagai perhatian. Adapun kemudian meletakkan tiga masalah utama yaitu kesehatan, ekonomi dan pendidikan semata untuk memudahkan gerak keorganisasian. Lebih detail pada skala praktisnya, tiga bidang tersebut masing-masing juga memiliki varian-varian teknis kerja yang beragam.

Misalnya, sekarang kita benar-benar serius dalam urusan gizi. Mengapa tiba-tiba lari ke gizi? Ada masalah apa? Lalu bagaimana dengan pengurus dan relawan odesa yang tidak ada satupun ahli gizi mengambil peran dalam transformasi sosial ini?

Gizi menjadi perhatian penting manakala bicara kesehatan. Ada sejumlah kasus yang mendorong kita memasuki pembicaraan masalah gizi. Pertama dalam perihal kesehatan, warga di kawasan Bandung utara ini memiliki problem yang akut. Banyak orang sakit terlantar sekalipun sudah memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS). Masalah transportasi saja menjadi problem yang benar-benar menyulitkan. Biaya Rumah Sakit bisa gratis, tapi urusan sakit berhari-hari bisa merepotkan periuk rumah tangga karena akan menghabiskan biaya makan sehari-hari dari keluarga golongan pra sejatera dan sejahtera I itu.




Kedua, terdapat fakta banyak anak dan juga orang tua yang lemah fisik. Ringkasnya, kehujanan masuk angin. Kerja sedikit panjang encok pegel linu hingga asam urat mendera. Saat musim panas energi petani mudah loyo. Anak-anak mudah pingsan gara-gara upacara bendera hari senin. Fisik mereka yang lemah mengakibatkan seringkali libur kerja karena sakit.

DASAR MASALAH
Kita tidak main asal-asalan dalam mengambil kesimpulan bahwa mereka kurang gizi. Namun pergaulan kita yang sangat dekat dengan petani hingga mengetahui keadaan dapur para petani membuktikan bahwa keluarga petani memiliki masalah gizi. Ini bukan penghinaan. Data Indikator kesejahteraan di Jawa Barat tahun 2017 pun mengatakan hal tersebut dengan menyebut penduduk Jawa Barat di perdesaan belum baik dalam urusan pemenuhan Gizi. Pernah suatu hari saya bertemu dengan petugas lapangan Keluarga Berencana dari Kantor Desa Cikadut. Dia bercerita juga bahwa memang sebagian besar petani itu kurang seimbang dalam urusan gizi. Saya sependapat dengan penyuluh itu karena saya sendiri juga memperhatikan tentang apa yang dimakan oleh para petani, bahkan sangat sering menyaksikan dan makan bersama mereka di ladang atau di rumahnya.

Apa yang dikonsumsi petani? Gambarannya kurang lebih begini. Makan nasi dalam jumlah porsi banyak, mungkin dua kali lipat yang biasa dimakan orang kota. Sayur lodeh atau sayur bening.
Ikan asin beserta tempe atau tahu, lalu untuk mendapatkan sensasi rasa yang enak dimainkan menu sambal. Sangat jarang telor atau daging menjadi perhatian. Tidak tentu dalam satu minggu mereka mengonsumsi telor. Kalaupun mungkin dua tiga kali dalam seminggu telor namun mereka jelas sangat langka mengonsumsi daging. Menu tunjungan di luar makan adalah makanan olahan sendiri seperti singkong, ubi jalar. Ini yang paling mudah didapatkan. Buah utama yang mudah didapat adalah pisang, namun faktanya petani juga tidak selalu rutin dalam seminggu mengonsumsi pisang. Buah lainnya sangat langka. Mereka sangat jarang makan mangga, jeruk, sawo, atau yang lain.

Pernah saya bicara dengan beberapa pedagang buah keliling. Mengapa buah-buahnya kecil-kecil dan kurang sempurna, tidak sebagus yang di pasar utama? Jawabnya karena kalau yang bagus harganya mahal dan tidak akan laku di desa. Bahkan buah dengan harga sudah murah pun belum tentu cepat laku.

Lain daripada itu, banyak petani yang kurang memperhatikan masalah air putih. Sumber energi, sumber cairan tubuh, dan sumber penting penyerapan gizi serta sumber utama proses metabolisme usus ini sering diabaikan. Minuman petani lebih suka kopi untuk petani laki-laki. Dan perempuan suka minum teh tawar. Air putih memang saban hari diminum. Namun setiapkali saya bertanya berapa kali minum air putih dalam sehari, rata-rata kesulitan menjawab. Ketika saya munculkan angka, 6 kali atau 4 kali, mereka menjawab tidak sampai. Nah!

Ada satu cerita juga. Bahwa banyak petani sangat boros urusan beras. Mengapa? Jawabannya mudah. Karena mereka tidak mendapatkan sumber gizi dari makanan lain. Beda dengan kebanyakan keluarga yang masuk golongan sejahtera II atau sejahtera III yang sering makan buah, kue, roti, atau lebih leluasa memilih sayuran. Urusan sayuran petani mungkin cukup, tetapi itu pun sayuran yang tersedia. Tidak semua lingkungan pertanian menanam jenis sayur yang lengkap karena kepetingan komoditi lebih pada urusan market, bukan urusan pemenuhan gizi keluarga. Musim tomat sayurnya tomat melulu. Musim caisim, makan caisim melulu. Hal ini juga membuka mata pengetahuan kita, bahwa di luar pertanian ladang mesti ditegakkan pertanian pekarangan yang menyediakan aneka ragam tanaman, termasuk buah untuk memasok gizi keluarga.

KURANG PENGETAHUAN
Konsumsi makanan/gizi yang tidak seimbang itulah yang disebut kekurangan gizi. Sementara di perkotaan akibat konsumsi yang tidak seimbang namun over, masalah yang mendera adalah obesitas. Kalau dirangkum jadinya, Indonesia mengalami problem gizi. Di perkotaan kelebihan gizi lalu banyak yang mati. Di perdesaan kekurangan gizi mati juga. Mayoritas rakyat Indonesia pada mati sebelum sejahtera!.




Gizi menjadi penting. Bukan hanya memperoleh, melainkan juga merawatnya. Bergumul dengan kehidupan petani saban hari, kita juga menemukan fakta perusak gizi. Petani sudah kekurang gizi, masih juga ditambah problem kebersihan. Budaya wajib cuci tangan sebelum makan terkadang tidak berlaku di ladang. Mereka tidak sadar bahwa dengan tangan kotor otomatis memasukkan bakteri jahat ke dalam perut bersama makanan. Kalaupun makanan bergizi tinggi, tetapi kemudian makanan disantap bakteri tentu jadi konyol.

Gizi BAIK MANUSIA BAIK
Di situlah mengapa Odesa Indonesia menaruh pendidikan gizi masyarakat sebagai hal yang mendasar pada kalangan petani. Bahkan pada dimensi ekonomi, kita menggerakkan tradisi pemahaman tentang tanaman-tanaman obat yang baru untuk perbaikan gizi rumah tangga. Di Cimenyan Bandung ini tanah begitu subur, tetapi jenis tanaman terkonsentasi pada tanaman pangan konvensional dan tanaman non pangan. Sementara ada ribuan jenis tanaman herbal yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak dikembangkan.

Bahkan ada sisa-sisa tanaman obat pun sering ditendang demi kebersihan ladang atau sekadar alasan untuk tanaman singkong. Ini masalah pengetahuan yang lemah. Ini adalah masalah kegelapan dan harus ada obor pencerahan untuk para petani. Dengan bercocok tanaman obat, pekarangan atau pinggir ladang akan lebih maksimal menghasilkan beragam jenis panen.

Yang seperti ini juga tidak pernah diagendakan pemerintah. Pejabat desa tidak memahami pentingnya gerakan seperti ini. Camat mungkin lebih tidak paham. Dan yang merugi dari salahsatu potensi penting dalam perubahan sosial sebenarnya adalah peranan ustad yang sering mengisi pengajian. Kebanyakan ustad-ustad ilmunya tak jauh dari kutipan ayat dan penjabaran normatif dari perintah dan larangan dalam agama.

Gagasan Islam dan pertanian, Islam dan kesehatan masih sampai saat ini belum ketemu titik temu di lapangan. Itulah mengapa agama terkadang tidak begitu berperan dalam perbaikan di masyarakat karena tidak mampu menjawab problem mendasar seperti masalah gizi dan kesehatan di atas.




Jika ingin mengubah masyarakat Indonesia, maka penting kiranya gerakan pengetahuan tentang gizi ini masuk pada kelompok petani, terutama golongan pra-sejahtera yang penuh kesengsaraan hidupnya, dan golongan sejahtera I yang lemah untuk bangkit dalam keterpurukan. Jumlahnya ada di BPS, dan dari tahun ke tahun tidak banyak berubah.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja