Covid-19: Tetanda “Babalik Pikir”

Oleh HERRY DIM. pekerja seni, aktivis Bidang Revitalisasi Sumber Daya Alam di Odesa Indonesia.

Covid-19: Tetanda “Babalik Pikir”
[TULISAN INI TELAH DIMUAT DI PIKIRAN RAKYAT, KAMIS, 30 APRIL 2020; DI SANA ADA SEDIKIT BAGIAN YANG TERPOTONG KARENA TERBATASNYA HALAMAN. BERIKUT INI VERSI LENGKAPNYA BAGI YANG BERKENAN. SELAMAT MEMBACA]

DATANGNYA pandemi Covid-19 yang melanda dunia, itu sungguh mengagetkan yang kemudian menyadarkan nyaris orang per orang bahwa kehidupan ini ternyata begitu rentan. Di satu sisi adalah kenyataan rentannya “jaminan hidup dan kesehatan” mengingat ancaman penyakit akibat virus Corona ini ternyata tidak bisa langsung didapat penawarnya. Secara langsung membuktikan bahwa setinggi-tingginya ilmu serta teknologi pengobatan ternyata tak mampu menghadapi datangnya penyakit baru yang mewabah tersebut.

Ketakberdayaan ilmu dan teknologi bahkan teralami negara-negara yang semula kita duga telah begitu mapan dalam hal jaminan kesehatan. Di sisi lain, adalah kenyataan baru bahwa segala pranata sosial, politik, ekonomi, agama, dan kebudayaan pada umumnya yang semula kita anggap telah mapan, telah/sedang berjalan, mungkin juga telah dianggap kokoh, pun ternyata goyah, rentan, bisa berubah dengan sangat tiba-tiba, dan dituntut untuk segera melakukan tafsir ulang atas segala konsep hingga praxisnya.

Pembalikan

FENOMENA terbesar seiring covid-19, itu terjadinya pembalikan di berbagai sendi kehidupan. Yang paling mudah dikenali dan kasat mata antara lain pembalikan dari komunal ke personal, tempat keramaian menjadi kesenyapan; bahkan pusat keagamaan semisal Mekah, Vatikan, Pura-pura di Bali melakukan penutupan; ummat dari masing-masing kepercayaan itu “balik” ke bilik dan tiap diri.

Apakah ini artinya?

Saya tak hendak masuk ke ihwal “fiqih” dan tata laksana keagamaan dari masing-masing agama, mengingat itu di luar kapasitas penulis. Hanya saja dari sudut pandang awam sekaligus abangan, terlihat hubungan orang per orang dengan ke”Illahi”an itu seperti diberi kesempatan untuk berbalik menjadi hubungan antar-diri. Menjadi tipis, jika tidak dikatakan samasekali hilang, keberadaan “ruang perwakilan”nya. Hubungan “digiring” menjadi bersifat langsung tegak lurus ke langit atau habluminallah jika di dalam konsep keyakinan Islam.

Kenyataan ini, diam-diam terjadi pula di dalam tatanan sosial-politik. Untuk pembuktiannya mari kita lihat hal sepele sekaligus penting di dalam hal Corona, yaitu urusan cuci tangan. Pekerjaan tersebut jelas merupakan tindakan personal yang tidak bisa diwakilkan kepada DPR, DPD, partai-partai, dsb. Sejalan dengan hal itu, tak terwakilkan pula ihwal kecemasan dan harapan hidup, doa dan kerja keras petugas kesehatan, hingga perkara rakyat yang berusaha patuh bertahan diam dan “terpaksa” bergerak demi survival.

Pembalikan terjadi pula pada sebagian besar (jika tidak dikatakan seluruh) moda perdagangan. Ambil contoh KFC yang pada saat artikel ini ditulis, telah mengumumkan akan menutup sejumlah besar gerai serta mem-phk-kan pegawainya. Menyebut KFC ini semata-mata demi pencontohan bagaimana raksasa yang terkategorikan industri multinasional bidang makanan, itu sempoyongan bahkan bukan tidak mungkin ambruk jika masa krisis Covid-19 ini berkepanjangan. Pertanyaannya: moda dagang makanan seperti apa yang bertahan?

Sejumlah data atau kenyataan lapangan membuktikan, bahwa perdagangan orang per orang lah yang tetap bertahan dan berjalan. Banyak anak muda misalnya yang terhenti dari pekerjaan “besar”nya, itu justru berbalik jualan kue, roti, hingga rempeyek dan penganan lainnya dengan moda “purba” yaitu eceran bahkan dilaksanakan “door to door” yang artinya antar-personal dan/atau bukan manufaktur.

Demikian sekadar ilustrasi kecil tentang terjadinya pembalikan. Sementara untuk lebih luasnya lagi bisa dikembangkan sendiri oleh pembaca dengan bukti-bukti lapangannya masing-masing.

Kesemestaan

AJAIBNYA, di satu sisi orang per orang itu ditarik untuk masuk ke dalam pribadi dirinya masing-masing: tapi pada saat yang bersamaan ia pun dituntut untuk menyadari kembali bahwa tubuh diri ini sejatinya tak lepas hubungan dengan tubuh-tubuh lain yang bahkan tak saling kenal dan sangat berjauhan.

Demikianlah, di balik prinsip jaga jarak untuk memotong matarantai penyebaran Covid-19; kita seperti disadarkan kembali bahwa tubuh ini berada di dalam kesemestaan tubuh-tubuh yang lain. Kita tak bisa abai atau “elu-elu gua-gua” karena ternyata setiap tubuh itu “terikat” di dalam satu matarantai kehidupan yang bisa juga matarantai kematian.

Hikmah apa yang bisa dipetik dari kenyataan ini?

Sejatinya kita tak bisa lagi berfikir egoistis atau individualistik. Covid-19 mengajarkan bahwa di dalam setiap tubuh itu ada daya hidup tapi sekaligus juga daya mati. Daya hidup berupa segenap kebaikan yang bisa berimpak kehidupan baik bagi orang-orang lainnya. Sebaliknya daya mati, itu berdiam di dalam sikap “elu-elu gua-gua” hingga segenap keburukan yang berupa tindakan kegenahan diri dengan mengabaikan bahkan mengorbankan orang lain.

Tani

DI balik getirnya pandemik Covid-19, ini (bagi yang jembar membacanya) pun merupakan kesempatan besar untuk “babalik pikir,” demikian jika memungut pepatah Sunda yang artinya mengubah segenap kelakuan buruk menjadi baik. Panduan “berbalik”nya pun cukup jelas yaitu mengarahkan hampir seluruh sendi kehidupan sesuai irama pembalikan yang terjadi sambil memetik hikmah ihwal daya hidup dan daya mati.

Di dalam skala makro, kejadian ini pun mesti dibaca sebagai kesempatan untuk melakukan pembalikan konsep berbangsa dan bernegara, semisal (1) Dengan sesungguhnya melakukan pembalikan dari logika pusat-pusat kuasa ke daulat rakyat yang sesungguhnya telah termaktub sebagai pokok dalam prinsip demokrasi; (2) Sudah terlalu lama bahkan sejak masa Hindia-Belanda, orientasi kita itu kota-desa atau pusat-daerah. Ini mesti dibalik menjadi berorientasi ke desa atau daerah, sehingga kelak terbukti manakala desa-desa itu kuat maka kota pun ajeg.

Seyogianya tak boleh ada lagi istilah desa tertinggal. Sarana publik yang mendasar yaitu pendidikan, sarana kesehatan, pola pengelolaan ekonomi di desa-desa itu mesti setara dengan di perkotaan yang berlaku sekarang.

Bahkan di depan mata kita sekarang ini, terbukti bagaimana kota-kota tak berdaya, sementara desa atau daerah meski dalam keadaan belum terperhatikan secara serius itu nyata menjadi basis terakhir, harapan terakhir di tengah bakal munculnya “wabah lain” barupa kesulitan bahan pangan dan anjloknya daya beli masyarakat.

Sila lihat pula, manakala kota “tutup” bersebab Covid-19, desa malah didorong “buka” demi terselamatkannya kebutuhan pangan. Lembaga-lembaga dunia semisal FAO mempersilakan kegiatan pertanian dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Sejumlah negara pun mengucurkan insentif pada kegiatan pertanian demi amannya stok pangan masing-masing negara.

Sejauh desa atau daerah itu masih mungkin bagi pertanian, hendaknya ke arah itulah bangsa dan negara ini berbalik arah orientasi. Mudah-mudahan tulisan ringkas ini kelak bisa terhampiri kembali sebab ihwal tani ini perlu dibahas dengan khusus mengingat di sebaliknya adalah problematika budaya tani yang sebagaian terlanjur pucat bahkan menghilang, ada juga problem seputar petani yang tak lagi memiliki lahan garap karena umumnya lahan telah menjadi milik orang kota, hingga yang terujung ihwal bibit yang cenderung kocar-kacir.***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja